Rabu, 03 Oktober 2007

MENGEMBANGKAN JIWA WIRAUSAHA


Penulis buku terkenal Robert Kiyosaki dalam bukunya Cashflow Quandrant (Pustaka Gramedia) menyatakan bahwa pada dasarnya pekerjaan dapat dibagi dalam 4 jenis : Employee (menjadi pegawai di perusahaan atau di pemerintahan), Self Employee ( membuat pekerjaan sendiri sesuai keahlian, misalnya dokter, pengacara), Business Owner (wirausahawan, menciptakan suatu sistem dan menggaji orang lain untuk menjalankannya), dan Investor (melakukan investasi, membiarkan uang yang bekerja untuk kita). Employee dan Self Employee termasuk dalam kuadran kiri, sedang Business Owner dan Investor termasuk dalam Kuadran kanan. Menurut Kiyosaki, agar kita bisa dalam kebebasan finansial, maka kita tidak cukup berada di kuadran kiri, tapi harus berusaha masuk ke kuadran kanan. Pada kuadran kiri, pemasukan kita sepenuhnya tergantung pada usaha kita sendiri, sedang pada kuadran kanan pendapatan kita berasal dari sistim yang kita ciptakan dan uang yang kita investasikan.

Untuk masuk ke kuadran kanan sebagai Business Owner, maka diperlukan pengetahuan mengenai sifat-sifat dan watak yang diperlukan menjadi seorang pemilik usaha yang sukses. Selain itu perlu juga diketahui bagaimana latar belakang para pemilik usaha yang berhasil dan bagaimana mereka menjalankan usahanya. Tulisan singkat ini mencoba mengenali hal-hal tersebut sebagai panduan untuk yang bermaksud memulai usaha sendiri.

· Apa ciri-ciri seorang yang berjiwa wirausaha?

Menurut Geofffrey Meredith et al, dalam buku Kewirausahaan (Penerbit PPM,2002) profil seorang wirausahawan bisa dilihat dari ciri-ciri serta watak antara lain : Percaya diri (misalnya watak Keyakinan, ketidaktergantungan), Berorientasikan tugas dan hasil (kebutuhan akan prestasi, berorientasi laba, ketekunan dan ketabahan, tekad kerja keras, mempunyai dorongan kuat, energitic dan inisiatif), Pengambil resiko (kemampuan mengambil resiko, suka pada tantangan), Kepemimpinan (Bertingkah laku sebagai pemimpin, dapat bergaul dengan orang lain, menanggapi kritik dan saran), Orisinalitas (inovatif dan kreatif, fleksibel, serba bisa), dan Berorientasi ke masa depan (Perseptif).

· Mengapa wirausahawan sukses terjun jadi wirausaha?

Banyak alasan mengapa para wirausahawan sukses masuk ke dalam dunia usaha. Bagi Bob Sadino, hal itu didasari keinginan untuk Merdeka. Merdeka dalam arti bebas dari perintah orang lain dan bebas untuk menentukan rencana sendiri. Didasari keinginan untuk merdeka tersebut, Bob Sadino meninggalkan pekerjaan di PT Djakarta Loyd, dan memulai usaha menjual telur kebutuhan para ekspatriate yang tinggal di kawasan Kemang. Bob, sebagaimana anda tahum sekarang memiliki jaringan Kem’s Chick.

Bagi Sofyan Ponda, pendiri jaringan Hotel Sofyan Groups, sebagaimana dipaparkan dalam bukunya Sofyan Ponda, pendiri Hotel-hotel Kecil (1992) yang ingin dicapainya dalam bisnis adalah kepuasan. Untuk itu Sofyan rela meninggalkan jabatannya di Departemen Keuangan di akhir tahun 60-an dan memulai bisnis Hotelnya dengan menjadikan rumahnya di Jl. Gondangdia 108 menjadi Losmen (sekarang jadi Hotel Menteng).

· Bagaimana mereka membangun keberhasilan?

Roma tidak dibangun dalam sehari. Analogi yang sama juga berlaku bagi sebagian besar para entrepreneur. Proses jatuh bangun membangun usaha selama puluhan tahun adalah gambaran umum wirausahawan besar. Umumnya mereka memulai dari tangga yang paling bawah dengan cucuran keringat dan air mata. Sebutlah Bob yang mulai menjual telur dari rumah ke rumah. Atau pendiri perusahaan Farmasi Konimex, Djoenaidi Josoef, yang memulai dengan menjual obat di toko ayahnya. Agung Laksono, Ketua DPR dan pemilik beberapa perusahaan seperti AN-TV, perusahaan penerbangan Adam Air, dll, memulai bisnisnya dengan mendirikan bisnis Cleaning service sebelum tamat kuliah di Fakultas Kedokteran UKI pada awal tahun 70-an. Purdi Chandra, memulai usaha bimbingan belajar Primagama dengan hanya punya dua murid pada awal tahun 80-an. Sekarang jaringan franchisee Primagama sudah tersebar di seluruh Indonesia.

Semua ini membuktikan bahwa ada proses yang panjang dan berliku yang harus dilalui sebelum tumbuh menjadi bisnis yang besar dan kuat. Dalam proses ini terdapat banyak kerikil-kerikil dan jalan yang licin dan terjal yang mesti dihadapi. Justru semua rintangan ini nampaknya menjadi suatu pemacu mereka untuk lebih giat dan matang dalam mengarungi dunia usaha.

Kembali ke pendapat Kiyosaki mengenai empat kuadran pekerjaan, tidak dapat dipungkiri bahwa kita sulit untuk berada dalam kebebasan finansial jika tetap bertahan di kuadran pertama sebagai employee. Tingkat persaingan usaha yang keras yang membuat kita senantiasa terancam kehilangan pekerjaan, tingkat inflasi dan kenaikan harga yang jauh melebihi kenaikan gaji, aneka ragam pajak yang harus kita bayar membuat pilihan berlama-lama sebagai pegawai bukan lagi pilihan yang aman. Kita harus mulai masuk ke kuadran kanan, sebagai business owner atau investor. Prosesnya bisa perlahan-lahan, tidak harus drastis. Namun yang pasti kita harus memulai. Selanjutnya, kita tinggal mengarungi suka dukanya, seperti yang sudah dijalani oleh mereka yang telah lebih dahulu berhasil. Bagaimana menurut anda?

Rihat Hutagalung

Komp. Villa Nusa Indah 2 Blok Y1 No 16

Bojong Kulur, Bogor

Email: rihat_hutagalung @yahoo.com

HP: 081808692142

Selasa, 11 September 2007

MENGENANG TRAGEDI WTC

Seringkali kita bermimpi tentang sesuatu kejadian yang mengerikan. Betapa lelah kita dalam tidur ,berjuang untuk bisa lari dari 'kenyataan' itu. Ketika akhirnya kita terbangun, kita tersadar bahwa itu hanyalah mimpi. Dan kita sungguh bersyukur semua itu memang hanya sebuah mimpi. Bukan sebuah kenyataan.

Namun terkadang kita diperhadapkan dengan kenyataan yang juga mengerikan, dan berharap itu hanyalah mimpi. Tapi tidak. Dia sungguh ada terjadi di pandangan wajah kita. Apa yang membuat kita mempertanyakan apakah ini sebuah kenyataan, mungkin karena kejadian semacam itu belum pernah terjadi sebelumnya. Kita berharap bahwa semua ini hanya mimpi. Tapi bukan, ini sungguh sebuah kenyataan yang pahit.

Peristiwa runtuhnya gedung kembar WTC di Manhattan pada tanggal 9 September 2001 oleh dua pesawat yang dibajak, mungkin adalah satu kengerian tak terperi abad ini. Pernahkah anda terpikir ada orang yang dengan sengaja membajak pesawat dan kemudian menabrakkanya ke gedung yang menjadi ikon suatu negara ? Ribuan orang telah tewas dlam tragedi ini. Tapi mungkin, ada jutaan orang yang menjadi korban trauma olehnya.

Ketika David Rockefeller memulai ide pembangunan gedung di tahun 1960, mungkin dia membayangkan gedung ini akan menjadi suatu 'landmark' kota New York selama berpuluh-puluh tahun. Maka di tengah kesulitan ekonomi Amerika kala itu, dia berupaya mewujudkan impiannya hingga selesai sekitar tahun 1970. Namun, oh, hanya dalam 17 menit kedua menara kebanggaanya itu luluh lantak di tahun 2001.

Rencana penabrakan pesawat ke gedung WTC tentu tidaklah singkat. Barangkali diperlukan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan, untuk mempelajari rute penerbangan yang ada, sistem keamanan, rekrutmen orang yang bersedia untuk pekerjaan bunuh diri , dll. Namun, betapapun, upaya penghancuran tersebut tidaklah lebih bernilai dari pembangunannya itu sendiri. Dibutuhkan orang yang memiliki visi, kemampuan arsitektural dan sipil yang handal, yang membuatnya berdiri kukuh.

Mungkin itulah semangat yang perlu kita warisi ke depan. Yakni, kita perlu lebih menghargai manusia dan cipta karyanya. Di balik kemegahan gedung WTC, sesungguhnya tersimpan jiwa yang agung untuk membangun peradaban, ketelitian, kerja keras. Dengan pemahaman semacam itu, maka kita akan tergerak untuk ikut menjaga dan menciptakan yang baru, bukan menghancurkan yang sudah ada. Semoga.

Jumat, 07 September 2007

Munir dan Masa Depan Indonesia



Kematian, ternyata begitu dekat. Dalam sekian helain nafas, seseorang yang begitu kita kasihi atau hormati, tiba-tiba telah pergi. Tanpa isyarat. Tanpa lambaian tangan. Dan setelah sekian waktu berlalu, ternyata kenangan itu tak mudah pupus. Jejak langkah dan perjuangannya rupanya masih tergurat jelas. Hari ini, 7 September 2007, genap 3 tahun kematian aktivis HAM Indonesia,Munir.

Apakah yang harus kita serap dari seorang lelaki muda ini, yang begitu kukuh membela hak anak bangsanya? Dalam sekian banyak liputan tentang perjuangannya membela mereka yang tertindas, barangkali ada juga rasa kesepian dan ketidakpastian , apakah semua ini akan menghasilkan buah? Apakah dalam pembelaannya bagi sekian banyak orang korban penindasan, suatu saat mungkin dia sendiri akan menjadi korban ?

Begitu gelap ternyata, apa yang berkelibat di balik pembunuhan Munir. Begitu banyak persidangan yang telah digelar, namun kabut itu belum tersingkap jua. Begitu kuatkah kekuasaan yang telah merenggutnya? Begitu berartikah kematiannya untuk kelangsungan kekuasaan mereka?

Namun ada dampak yang mungkin tidak kita sadari dengan kematian Munir. Bahwa perjungan untuk membela masyarakat yang terpinggirkan, tercabik-cabik hak kemanusiannya, harus siap dibayar dengan harga yang sangat mahal. Nyawa. Darah seorang anak manusia nyatanya tak lebih dari darah-darah yang berceceran di penjagalan.

Seperti apakah nantinya wajah demokrasi kita, jika nasib orang yang memperjuangkannya menjadi tidak jelas. Mungkinkah masih ada anak muda yang mau memperjuangkannya sesamanya jika pada akhirnya dia harus terbujur sendiri dalam kesia-siaan? Akankah lahir generasi yang lebih memilih jalan aman, tanpa harus perduli dengan jeritan-jeritan di sekelilingnya?

Barangkali menarik untuk diketahui apa tanggapan generasi muda terhadap sosok Munir. Apakah mereka menganggapnya sebagai idola? Adakah perjuangan dan pengorbannya memberi inspirasi bagi mereka untuk melakukan hal yang sama? Ataukah mereka menganggap pengorbanan diri sendiri untuk orang lain sebagai suatu kebodohan semata? Mungkin suatu saat kita akan mendapatkan jawabnya. Di situ, kita akan melihat wajah Indonesia yang sesungguhnya.

Senin, 27 Agustus 2007

SUARA BENING ANDREA BOCELLI


Dalam kehidupan, betapa sering kita meratapi kekurangan dan kelemahan yang ada dalam diri.Kita seolah tak ubahnya sekumpulan ketaksempurnaan yang membawa kita pada kesimpulan sendiri bahwa kita tak berarti dibanding orang lain. Terlalu sering kita hanya melihat apa yang tiada dalam diri kita, sementara kekuatan yang ada seolah hilang tersaput kabut pagi hari.

Namun apa yang kita lihat dari seorang Andrea Bocelli? Dalam kegelapan pandangan matanya, bersinar cahaya kehidupan. Dari ketinggian pegunungan Toscana ,Italia, sinar itu berpendar jauh ke sudut-sudut bumi. Dengarlah nyanyiannya, dan temukanlah kebeningan hatinya. Celino Dion bahkan berkata: "Jika Tuhan memiliki suara, pastilah suaranya seperti suara Andrea Bocelli."

Kebutaan, kegelapan, ternyata tidak menghalangi Andrea untuk menggali dan mempersembahkan talenta yang diberi Tuhan baginya. Sekeping talenta, suara itu , cukup untuk membawanya menjelajahi bumi ini untuk bertemu, berbagi dan berkomunikasi dengan orang-orang di negeri asing. Senandung sebagai sarana untuk membagikan perasaan dari hati dan jiwanya.


Andrea ,seperti halnya musisi besar yang senasib dengannya, telah memberi kita sebuah kesadaran. Bahwa kekurangan bukanlah kata akhir. Soalnya, kata Antony Robin, bukan apa yang terjadi dengan diri anda, tapi apa sikap anda dengan kejadian tersebut.

Barangkali inilah saatnya bagi kita untuk mendata segenap kemampuan kita dan melupakan apa saja yang menjadi kelemahan kita. Kekuatan kita, biarlah menjadi modal bagi kita untuk maju dan memberikan sesuatu bagi dunia dalam kehidupan yang singkat ini. Sementara kelemahan, biarlah itu menjadi cermin untuk membuat kita tetap rendah hati dan hormat kepada sesama. Gracia ,Andrea.





Jumat, 24 Agustus 2007

SAVE THE CHILDREN !!

Akhir-akhir ini betapa sering kita mendengar berbagai sering kita mendengar kekerasan yang sering dilakukan terhadap anak-anak. Penyiksaan fisik oleh orang tua kandung, saudara, bahkan penculikan dengan motif ekonomi menjadi berita yang kerap hadir di berbagai media. Dalam kerapuhan fisik dan mentalnya, anak-anak sering menjadi sasaran hasrat berkuasa orang dewasa. Mungkinkah ini merupakan pelampiasan ketidakmampuan mereka dalam bersaing dalam kehidupan sosialnya?


Penculikan anak TK bernama Raisya yang berakhir hari ini sekali lagi membuktikan bahwa kita telah menempatkan anak-anak yang polos itu menjadi korban orang dewasa yang penuh dengan keinginan berkuasa. Orang dewasa yang tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonominya kemudian menjadikan anak yang tak berdaya sebagai alat pemenuhan kebutuhannya itu. Pernahkah kita berpikir bagaimana perasaan takut yang dialami si anak ketika berhadapan dengan orang yang begitu kuat secara fisik? Seperti apakah kerusakan mental yang diakibatkan ketercekaman selama penculikan itu? Sebandingkah itu semua dengan nilai ekonomi yang diminta oleh si penculik? Penculikan selama 9 hari itu mungkin akan menyisakan trauma yang sulit terhapus sepanjang hidupnya yang masih sangat panjang.

Jika kita mencermati berita-berita penyiksaan yang sering dialami oleh anak-anak, barangkali diperlukan suatu gerakan untuk membangkitkan kesadaran bersama bahwa anak-anak memerlukan perlindungan dari kita para orang dewasa (orang tua). Begitu besar harapan mereka kepada kita untuk dapat membantu mereka menghadapi begitu banyak hal dalam hidup ini yang masih begitu bagi mereka. Tidakkah apa yang mereka rasakan juga sama seperti yang kita rasakan saat kita kecil dulu? Tidakkah kehadiran, perhatian dan pertolongan saudara yang lebih tua atau orang tua kita merupakan hal yang kita nanti-nantikan? mari kita selamatkan anak-anak dari segala beban penyiksaan. Merekalah masa depan kita.....

Selasa, 21 Agustus 2007

MAKNA SEBUAH KEMERDEKAAN

Bagi orang yang merasakan pedihnya hidup dalam keterjajahan, secara fisik maupun pemikiran, tiada yang lebih berharga dalam hidup ini selain bisa lepas bebas menjalani, meraih, mengungkapkan apapun yang menjadi aspirasi pribadi tanpa kekangan orang lain, lembaga, bahkan negara. Mereka bersedia mempertaruhkan nyawa untuk sebuah kemerdekaan itu. Namun seringkali setelah mendapatkan apa yang diimpikannya, seringkali orang bingung tentang apa yang harus dilakukan dengan 'kemerdekaan' yang telah ada dalam genggamannya. Seringkali orang justru kembali terjajah oleh kepicikan, keegoisan dan keserakahan dirinya sendiri. Dia, atau kita, terbelenggu dalam jerat-jerat kemerdekaan yang menawan kita untuk bangkit berlari menuju awan cita-cita yang telah lama kita damba-dambakan. Kreativitas yang subur saat ditindas orang lain justru sering menguap di benderang kemerdekaan fisik yang kita miliki. Yang tersisa hanya jiwa yang stagnan, rapuh dan dan seringkali justru berubah menjadi otoriter, tidak toleran dengan pikiran alternatif orang lain. Kita berubah menjadi seseorang yang dahulu kita justru kita lawan. Kemerdekaan, ternyata, bukanlah sesuatu yang berrsifat fisik. Dia ada jauh di kedalaman pikiran kita. Dalam ketersurukan bilik ruang yang sempit dan pengap, pikiran kita seringkali justru mampu membubung keluasan mega pemikiran yaang bernas dan abadi. Penjara di Boven Digul, pulau Banda yang asing, hanyalah sebuah tempat semata yang jauh dari hiruk pikuk keriangan. Namun dari sana, saudara, lahir kemerdekaan pikiran yang membawa bangsa ini dalam wujudnya saat ini. Salam Merdeka