Selasa, 11 September 2007

MENGENANG TRAGEDI WTC

Seringkali kita bermimpi tentang sesuatu kejadian yang mengerikan. Betapa lelah kita dalam tidur ,berjuang untuk bisa lari dari 'kenyataan' itu. Ketika akhirnya kita terbangun, kita tersadar bahwa itu hanyalah mimpi. Dan kita sungguh bersyukur semua itu memang hanya sebuah mimpi. Bukan sebuah kenyataan.

Namun terkadang kita diperhadapkan dengan kenyataan yang juga mengerikan, dan berharap itu hanyalah mimpi. Tapi tidak. Dia sungguh ada terjadi di pandangan wajah kita. Apa yang membuat kita mempertanyakan apakah ini sebuah kenyataan, mungkin karena kejadian semacam itu belum pernah terjadi sebelumnya. Kita berharap bahwa semua ini hanya mimpi. Tapi bukan, ini sungguh sebuah kenyataan yang pahit.

Peristiwa runtuhnya gedung kembar WTC di Manhattan pada tanggal 9 September 2001 oleh dua pesawat yang dibajak, mungkin adalah satu kengerian tak terperi abad ini. Pernahkah anda terpikir ada orang yang dengan sengaja membajak pesawat dan kemudian menabrakkanya ke gedung yang menjadi ikon suatu negara ? Ribuan orang telah tewas dlam tragedi ini. Tapi mungkin, ada jutaan orang yang menjadi korban trauma olehnya.

Ketika David Rockefeller memulai ide pembangunan gedung di tahun 1960, mungkin dia membayangkan gedung ini akan menjadi suatu 'landmark' kota New York selama berpuluh-puluh tahun. Maka di tengah kesulitan ekonomi Amerika kala itu, dia berupaya mewujudkan impiannya hingga selesai sekitar tahun 1970. Namun, oh, hanya dalam 17 menit kedua menara kebanggaanya itu luluh lantak di tahun 2001.

Rencana penabrakan pesawat ke gedung WTC tentu tidaklah singkat. Barangkali diperlukan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan, untuk mempelajari rute penerbangan yang ada, sistem keamanan, rekrutmen orang yang bersedia untuk pekerjaan bunuh diri , dll. Namun, betapapun, upaya penghancuran tersebut tidaklah lebih bernilai dari pembangunannya itu sendiri. Dibutuhkan orang yang memiliki visi, kemampuan arsitektural dan sipil yang handal, yang membuatnya berdiri kukuh.

Mungkin itulah semangat yang perlu kita warisi ke depan. Yakni, kita perlu lebih menghargai manusia dan cipta karyanya. Di balik kemegahan gedung WTC, sesungguhnya tersimpan jiwa yang agung untuk membangun peradaban, ketelitian, kerja keras. Dengan pemahaman semacam itu, maka kita akan tergerak untuk ikut menjaga dan menciptakan yang baru, bukan menghancurkan yang sudah ada. Semoga.

Jumat, 07 September 2007

Munir dan Masa Depan Indonesia



Kematian, ternyata begitu dekat. Dalam sekian helain nafas, seseorang yang begitu kita kasihi atau hormati, tiba-tiba telah pergi. Tanpa isyarat. Tanpa lambaian tangan. Dan setelah sekian waktu berlalu, ternyata kenangan itu tak mudah pupus. Jejak langkah dan perjuangannya rupanya masih tergurat jelas. Hari ini, 7 September 2007, genap 3 tahun kematian aktivis HAM Indonesia,Munir.

Apakah yang harus kita serap dari seorang lelaki muda ini, yang begitu kukuh membela hak anak bangsanya? Dalam sekian banyak liputan tentang perjuangannya membela mereka yang tertindas, barangkali ada juga rasa kesepian dan ketidakpastian , apakah semua ini akan menghasilkan buah? Apakah dalam pembelaannya bagi sekian banyak orang korban penindasan, suatu saat mungkin dia sendiri akan menjadi korban ?

Begitu gelap ternyata, apa yang berkelibat di balik pembunuhan Munir. Begitu banyak persidangan yang telah digelar, namun kabut itu belum tersingkap jua. Begitu kuatkah kekuasaan yang telah merenggutnya? Begitu berartikah kematiannya untuk kelangsungan kekuasaan mereka?

Namun ada dampak yang mungkin tidak kita sadari dengan kematian Munir. Bahwa perjungan untuk membela masyarakat yang terpinggirkan, tercabik-cabik hak kemanusiannya, harus siap dibayar dengan harga yang sangat mahal. Nyawa. Darah seorang anak manusia nyatanya tak lebih dari darah-darah yang berceceran di penjagalan.

Seperti apakah nantinya wajah demokrasi kita, jika nasib orang yang memperjuangkannya menjadi tidak jelas. Mungkinkah masih ada anak muda yang mau memperjuangkannya sesamanya jika pada akhirnya dia harus terbujur sendiri dalam kesia-siaan? Akankah lahir generasi yang lebih memilih jalan aman, tanpa harus perduli dengan jeritan-jeritan di sekelilingnya?

Barangkali menarik untuk diketahui apa tanggapan generasi muda terhadap sosok Munir. Apakah mereka menganggapnya sebagai idola? Adakah perjuangan dan pengorbannya memberi inspirasi bagi mereka untuk melakukan hal yang sama? Ataukah mereka menganggap pengorbanan diri sendiri untuk orang lain sebagai suatu kebodohan semata? Mungkin suatu saat kita akan mendapatkan jawabnya. Di situ, kita akan melihat wajah Indonesia yang sesungguhnya.